Melihat bagaimana fenomena Filter Bubble di Media Sosial



Assalamualaikum.. hai kawan ku tersayang, selamat kembali bersama aku admin tergaring wkwk, ehh sebelumnya nih sebelum abis bulan syawalnya, aku mau minta maaf ya kalo selama admin punya penulisan kata yang menyinggung hati para kepowers, mohon di maafkan yak, minal aidzin walfaizin para kepowers (, Selamat hari idul fitri. Okee karena mumpung masih asik dengan suasana lebaran kali ini aku dapet THR dong dari dosen eaak, iya bentuknya bukan amplop tapi, bentuknya ya ini yang mau aku tulis ekek, iyak kali ini aku bakal menulis mengenai fenomena Filter Bubble di media sosial, yang masih asing sama kata tersebut, padahal fenomena ini adalah fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita. Ya udah dari pada kepo.. yok langsung aja kita bahas apa sih Filter Bubble itu...

Filter Bubble, pertama kali diperkenalkan oleh seorang aktvitas internet terkemuka bernama Eli Periser “ sebuah dunia yang dibangun dari kesamaan ( familiar ), adalah tempat kita tak bisa belajar  apapun” dikutip sari The Economist. Istilah ini menurut informasi dari beberapa sumber artinya adalah sebuah kondisi hasil dari perkiraan, formula,  algoritma dan penyaringan pada sebuah situs, yang akan menebak informasi apa yang pengguna ingin lihat, berdasarkan informasi tentang pengguna ( seperti lokasi, riwayat klik , riwayat like, pertukaran komentar dan riwayat pencarian ) sebagai hasilnya, pengguna menjadi terpisah dari informasi yang tidak selaras dengan sudut pandangnya dan terisolasi secara intelektual dalam gelembung informasi mereka sendiri.
Filter Bubble membuat ruang yang tidak hanya menyaring informasi masuk namun juga menggaungkan informasi yang sudah terserap berulang kali. Fenomena ini juga menjadikan setiap netizen untuk diarahkan menuju kepada “suara-suara” yang sama dengan apa yang diyakini secara presisi. Rekaman suara dan tidak suka saat netizen mengklik like,follow dsb di media sosial.  Konten yang muncul berulang-ulang di hadapan layar kaca netizen tersebut lama kelamaan akan menginternalisasi keyakinan atas subtitansi konten tersebut sebagai kebenaran meskipun status keyakinan tersebut masih berada pada titik abu-abu bahkan salah sekalipun. Efeknya akan membuat pengguna menjadi terisolasi dalam gelembung budaya dan ideologi mereka sendiri
“ Dunia yang dibangun dari hal-hal familiar adalah dunia yang tidak perlu dipelajari, karena ada autopropoganda yang tidak terlihat, mengdoktrinasi orang dengan ide-ide kita sendiri”(Perisier)
Pilihan yang dibuat oleh algoritma di media sosial juga transparan. Contoh utama termasuk hasil pencarian Google dan aliran berita yang dipersonalisikan di Facebook. Hasil pencarian dari Google dan Facebook adalah dua contoh sempurna dari fenomena ini. Jadi jangan heran jika anda mempunyai 1000 lebih teman di Facebook tapi yang sering tampil di timeline hanya orang-orang tertentu. Banyak orang tidak sadar akan kehadiran filter bubble. Sebuah artikel di The Guardian pernah menyajikan fakta bahwa lebih dari 60% pengguna Facebook sama sekali tidak menyadari hasil dari kebiasan perilaku klik terakhir dari riwayat pencarian.
Menurut Periser filter bubble bisa memiliki implikasi negatif jika ingin dikaitkan dengan perpolitikan. Dia mengambil contoh ajang pilpres Amerika Setrikat pada 2016 yang banyak dikaitkan dengan pengaruh platform media sosial Twitter dan Facebook. Mustofa El-Bermawy dari wired bahkan menyebutkan bahwa Filter Bubble adalah perusak demokrasi.” Konten di Facebook kita dipersonalisasi berdasarkan perilaku klik dimasa lalu, jadi otomatis kita akan kebanyakan mengkonsumsi konten politik yang serupa dengan pandangan kita,”ungkap El-Bermawy. Hal ini yang membuat kemenangan Donald Trump terasa mengejutkan banyak orang. Internet membuat kita buta pada apa yang sebenarnya terjadi di kehidupan nyata.


Dalam sebuah penelitian oleh ilmuan data Facebook, mereka menemukan bahwa untuk setiap 4 teman Facebook yang berbagi ideologi, pengguna memilki satu teman dengan pandangan yang berbeda. Pengguna yang banyak menerima berita palsu akan cenderung terisolasi dalam kelompok yang tidak bisa menerima perbedaan. Alhasil untuk bisa di akui, dia akan memilih dengan keyakinan yang sama. Pengguna yang banyak menerima berita palsu, cenderung terisolasi dalam kelompok yang tidak bisa menerima perbedaan. Meskipun demikian, efek ini masih bisa diperdebatkan karena history dari pencarian seseorang masih bisa dihapus untuk meminimalisasi filter bubble. Seperti kata pakar hukum dari Harvard, Jonathan Zittrain, efek personalisasi pencarian di Google tidak terlalu berarti karena ada fitur untuk menghapus riwayat. tautan lintas sektorial juga jadi salah satu cara memperkenalkan sudut pandang yang berbeda untuk pengguna.
Akan tetapi dampak buruk Filter Bubble semakin menjadi-jadi karena beberapa kebiasaan jelek warganet dan media. Misalnya, tabiat media yang menjual judul-judul boombatis. Sehingga muncul kebiasaan hanya membaca judul tanpa mengklik konten. Dilansir dari Tirto.ID, sebanyak 59% link berita yang dibagikan di media seosial tidak benar-benar diklik sama sekali dan tabiat hoax yang kini sedang menjadi persoalan hangat di Indonesia. Di Indonesia, 4 dari tujuh orang aktif di media sosial. Sumber berita dan pengetahuan mereka datang dari sana. Masalahnya, tak semua pengguna sosial media tahun tentang algoritma ini.
Facebook merupakan media sosial dengan pengguna terbesar di dunia hingga 2 miliar pengguna akhirnya merasa bertanggung jawab. Pada april tahun ini, mereka berinvesitasi $14 juta sebagai usaha “untuk meningkatkan kepercayaan pada jurnalisme diseluruh dunia, dan membuat informasi lebih baik dalam percakapan publik.” Tujuannya agar seseorang tak sembarangan menyebar konten yang dibacannya dari teman, setidaknya konten yang disebar adalah yang kredibel dan dapat dipercaya. Namun yang perlu diingat pula bahwa media sosial kini berada dalam gelembung filter yang selama ini tak kasat mata dan bisa membuat orang melihat hanya dengan kacamata kuda.
Lalu bagaimana dampak fenomena Filter Bubble ini untuk kehidupan demokrasi ?
Keberadaan demokrasi yang berjalan dengan memanfaatkan tekhnologi informasi dari internet dan media sosial bukan berarti tidak mendapat halangan dan ancaman. Salah satu ancaman datang dari bentuk “slacktivisme” yakni bentuk kegiatan online yang tak punya dampak langsung pada perubahan sosial. Bentuknya mulai dari membubuhkan like pada status hingga petisi online yang tidak mengubah apapun didalam kenyataan. Ancaman ini sangat melemahkan upaya sebagai ancaman yang serius karena menjadikan “social cause” hanya sebagai bendera/slogan kosong dari kegiatan. Karena sulit dibedakan, banyak masyarakat yang terjebak dan kemudian berteori pada perubahan sosial yang hendak ditawarkan lewat media sosial. Merasa takut dengan perubahan yang ditawarkan hanyalah perubahan semu. Sikap skeptis mulai muncul dengan mengatakan bahwa kekuatan media sosial untuk melakukan perubahan sosial tak hanyalah gembar-gembor omomg kosong. Bila skeptisme ini meluas, bukan tidak mungkin media sosial justru akan melemah dan kini ancaman datang dari sisi tekhnologinya. Filter bubble akan melewatkan sudut pandang berbeda. Hal itu akan berpengaruh terhadap pemdapat seseorang seperti yang tadi sudah di jelaskan diatas.
Contoh saja seperti pencarian Twitter yang bergantung terhadap tanda ( # ) yang menjadikan trending topic. Bahkan dalam algoritma di Twitter, tekhonologi yang ada saat ini tidak beda membedakan mana ekpresi politik yang datang dari individu dan mana yang difabrikasi untuk menyampaikan dukungan oleh akun bot atau akun yang disebut pendengung (buzzer) politik, (Damar Jurniarto). Catatan inilah yang digunakan dalam merekomendasikan sebuah informasi seperti adanya kampanye kebencian dengan mengkafirkan pemeluk agama lain diluar kelompoknya, diskriminasi terhahap kelompok lain serta kebencian secara masif dan terencana. Ada banyak kelompok yanhg harus diwaspadai secara aktif mereka paham dengan cara kerja internet dan media sosial untuk memproduksi pesan yang sedang mereka perjuangkan.
Dengan komunikasi Web3.0 dunia siber sebenarnya menawarkan output informasi yang beragam dan demokratis. Maksudnya karena setiap pengguna memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pendapat, mengolah informasi, lalu kemudian menyebarkan kepada pihak lain, sehingga perbedaan pendapat adalah sbeuah konsekuensi logis dari tekhnologi informasi yang disruptif semacam media sosial. Namun dengan eksistensi masalah yang mengacam demokrasi itu, jalan mulus demokrasi digital masih perlu diperjuangkan. Maka dari itu dibutuhkan upaya bersama sari mereka yang mempercayai tekhnologi internet bisa digunakan untuk demokrasi agar masalah ini tertangani secara baik, karena bila tidak lekas-lekas diatasi maka akan menimbulkan persoalan serius dalam demokrasi Indonesia.
Oke gays sekian dulu tulisan dari aku kali ini ya, semoga bermanfaat buat kalian ya semua para kpowers. see you next week.
Wassalamualaikum..
Sumber informasi :

https://m-kumparan-com.cdn.ampproject.org/v/s/m.kumparan.com/amp/damar-juniarto/me?amp_js_v=a2&amp_gsa=1&usqp=mq331AQDoAEA#referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&amp_tf=Dari%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Fkumparan.com%2Fdamar-juniarto%2Fme

https://m.bisnis.com/sumatra/read/20181210
/432/867710/spektrum-efek-filter-bubble

http://ensiklopedia-idn.blogspot.com/2018/03/filter-bubble-bagian-tersembunyi-sosial.html?m=1


https://medium.com/@fawwazrifasya/echo-chamber-dan-filter-bubble-penyebab-polarisasi-masyarakat-dalam-media-sosial-6617178c1c74


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tau gak sih ? keistimewaan saat wanita datang bulan itu bikin..

Apa itu jurnalisme robot?